Monday, October 21, 2013

Tanpa Mahkota

mahkota

 
Mahkota, sejak lama menjadi simbol kekuasaan. Para raja jaman dahulu mengenakan mahkota. Karenanya jaman dahulu orang banyak yang mengincar “Mahkota”. Berbagai upaya dilakukan supaya berkesempatan menjadi orang yang mengenakan mahkota.
 
Namun tidak untuk seorang George Washington. Konon, dahulu ketika negara baru bernama Amerika Serikat berperang melawan Kerajaan Inggris yang ingin tetap menguasai tanah Amerika, para pendiri Amerika Serikat sempat menawarkan untuk memahkotai Jenderal Washington. Argumentasi nya adalah, dengan memiliki seorang Raja, maka rakyat Amerika akan lebih bersatu dalam melawan Kerajaan Inggris.
 
Konon Washington menolak mentah-mentah gagasan ini. Dan menyatakan bahwa: Rakyat Amerika-lah yang harus dimahkotai, bukan seorang George Washington.
 
Saya mendapatkan cerita ini dari buku “Breakthrough Company” karya Keith McFarland. Entah cerita ini berdasarkan fakta sejarah atau tidak. Namun gagasan yang terkandung di dalamanya sangat menarik. Bahwa seorang pemimpin sejati, akan memilih untuk menolak penghormatan jika itu untuk diri pribadi nya. Karena bagi nya, seharusnya orang-orang yang dipimpinya-lah yang layak mendapat penghormatan.
 
Saya teringat dengan cerita ini ketika sedang mengadakan perjalanan mengunjungi beberapa kota di Indonesia untuk bertemu teman-teman pengurus TDA. Melanjutkan perjalanan bulan2 sebelumnya. Bulan ini saya berkesempatan bertemu dengan teman-teman di Medan, Mataram, Makasar dan Manado. Semangat yang ditunjukkan oleh teman-teman umumnya sama, bahwa mereka semua sepakat untuk “Memahkotai TDA” bukan memahkotai diri sendiri. Segala upaya, segala kesibukan, dilakukan tidak untuk mendatangkan pujian atau penghormatan untuk diri sendiri. Namun untuk kemanfaatan bagi TDA dan anggota-anggota nya.
 
Dengan mengamati kiprah mereka secara langsung, saya tahu bahwa mereka tidak sedang membangun monumen untuk dirinya sendiri. Namun membangun sebuah sistem yang akan melayani anggota, untuk saat ini dan dimasa yang akan datang. 
 
Dan ini sejalan dengan budaya yang terus kita bangun di TDA. Pengurus boleh berganti, namun aktivitas di TDA harus terus berjalan dan terus membawa kemanfaatan untuk anggota dan masyarakat. Sekalipun jika kelak kita sebagai individu-individu pengurus tidak dikenang, yang penting aksi nyatanya yang membawa perubahan. Inilah wujud keikhlasan. Dan TDA di seluruh Indonesia, saya rasakan sangat kental dengan keikhlasan pengurus-pengurusnya.
 
Ada sebuah ungkapan yang sangat saya sukai, dan sering saya ulang: “Tanamlah benihnya dan pergilah. Siapapun yang memanen buahnya, biarlah dia memanennya.”
 
Begitulah jika keikhlasan sudah hadir di hati. Tidak ada lagi hitung-hitungan, siapa yang kelak akan menerima manfaat.
 
Tunggu… Itu kalau di organisasi. Bagaimana dengan perusahaan?
 
Prinsipnya sama. Anda bisa memilih untuk “memahkotai diri sendiri” atau “memahkotai perusahaan”.
 
Mereka yang sibuk memahkotai diri sendiri akan sibuk dengan atribut, hiasan, dan simbol-simbol “kesuksesan”. Begitu usaha bisa mendatangkan cash lebih sedikit saja, maka yang terpikirkan adalah bagaimana untuk mengangkat diri sendiri, terkadang lupa bahwa yang harus dibesarkan adalah perusahaan. Bukan nama atau citra pemiliknya.
 
Dan godaan menuju kesana dewasa ini sangat banyak.
 
Mahkota nya pun beraneka ragam. Saya telah menyaksikan pengusaha-pengusaha muda yang sangat menjanjikan, namun pada akhirnya sibuk dengan urusan memahkotai diri nya, sehingga usaha nya tdk berkembang optimal. Kesibukan membangun citra sampai-sampai menyita waktu lebih banyak dibanding mengurus usaha. Belum lagi urusan aksesoris sebagai “pengusaha sakses” yang wajib dimiliki. Mulai dari kendaraan, gadget, lingkungan pergaulan.
 
Terkadang jadi lupa, bahwa sesungguhnya yang harus dimahkotai adalah perusahaannya. 
 
Tentu ada juga contoh sebaliknya. Cukup banyak juga. Sahabat-sahabat pengusaha yang hidupnya tetap sederhana, minim publisitas, jauh dari selebritas, namun hasil kerja nya luar biasa. Karena mereka memilih untuk memahkotai perusahaannya, dan tetap ikhlas sekalipun dirinya mungkin dianggap “tiada”. 
 
Mungkin karena sudah panggilan jiwa, maka tidak penting lagi apakah diri nya yang menyandang pujian, atau orang lain. Bagi mereka, senyum yang mengembang di bibir pelanggan, tawa para karyawan, dan kepuasan mitra usahanya, sudah cukup.
 
Para aktivis TDA, yang bekerja ikhlas tidak demi nama pribadinya. 
Para pengusaha, yang bekerja ikhlas tidak demi kejayaan pribadinya.
 
Mereka akan tetap besar, sekalipun tanpa mahkota.