Wednesday, September 27, 2006

Peran ORTU dalam Perkembangan Anak

Orang tua merupakan panutan dan contoh paling dekat anak. Dari matanya yang
berbinar mereka mengamati lingkungan sekitarnya. Pernahkah anda menemukan
anak yang tidak merasa tertarik dengan lingkungan sekitarnya? ada, tapi itu
tidak normal, karena dari sanalah anak mengenal lingkungan sekitarnya.

Apakah kita sebagai orang tua turut andil terhadap ketidak majuan anak?Turut
berperan besar. Mau bukti? coba berapa kali kita melarang, mengkritik, dan
menyalahkan anak? bandingkan dengan kata-kata yang mendukung, kata yang
menenangkan, dan kata-kata yang memuji dan memberikan semangat. Dari survey
yang diadakan, anak menerima 40 kali kritik untuk satu pujian. Bagaimana
anak dapat menjadi percaya diri, jika setiap langkahnya disertai dengan
kritik yang cenderung menjatuhkan daripada memberikan semangat dan inspirasi
untuk terus maju. Ironisnya kadangkala orangtua tidak menyadari hal ini.
Mereka menganggap hal yang biasa. Tapi tahukan anda? kemampuan emotioanal
anak terbentuk 60% pada usia golden ages. Usia sekitar 0-6 tahun. Pada usia
itu, anak menyerap apapun yang diberikan dan ditangkap oleh panca inderanya.
Otak anak ibarat spons yang dapat menyerap informasi apapun yang terjadi di
sekitarnya.

Pernahkan anak dalam fase bertanya, kita tanggapi dengan sambil lalu dan
mengganggap pertanyaan tidak cukup bermutu dan kekanakan dan tidak masuk
akal. Reaksi sebagian besar orang tua adalah mengabaikan dan mengganggap
sepele. Tapi tahukan anda, anak anda sedang belajar. Maka jangan heran
ketika usia selanjutnya mereka jadi malas bertanya, malas belajar dan tidak
kritis lagi. selamat, anda telah dengan sukses menurunkan semangat dan
kesempatan anak anda untuk berkembang lebih optimal. Orang tua sering kali
tidak menyadarinya. Hal kecil, namun merupakan awal kemalasan anak untuk
bereksplorasi.

Anda punya anak balita, atau tetangga anda, saudara atau siapa saja.
Perhatikanlah. . mereka sangat tertarik dengan lingkungan sekitar, mereka
bereskplorasi, barang mereka otak-atik, beberapa di banting, ada yang
memanjat, ada yang membuat berantakan sekeliling mereka. kegiatan ini sering
kali membuat para orang tua senewen. Sehingga cenderung memarahi, mencubit,
dan kadangkala memukul. Sekali lagi selamat, anda telah mengurangi
semangatnya beresplorasi, dan menghambat perkembangan otaknya!!!

Para orang tua, kadang kita bisa memberikan 1001 alasan untuk pembenaran
semua apa yang kita lakukan, namun jauh di dasar hati kita kadang menyesal,
dan sering kali penyesalan datang belakangan. Kita telah merasa memberi
semua dibutuhkan oleh anak untuk berkembang maksimal, kita bersusah payah
mencarikan sekolah terbaik, pendidikan terbaik dan materi terbaik, mencukupi
kebutuhannya, tapi seringkali anak tidak berkembang seperti yang kita
inginkan. Tahukah anda sebenarnya yang menjadi masalah adalah diri kita
sendiri. Kita mencoba membuat fotocopy diri kita kepada anak. Atau kita
mencoba membuat fotocopy orang sekitar yang kita anggap sukses. Tapi kadang
kita tidak bersedia menanyakan keinginan anak. Kita berikan jalan yang
menurut kita terbaik, sementara kita cenderung mengabaikan minat, bakat dan
potensi anak. Hasilnya anak menjadi ogah belajar, apatis terhadap
pendidikan, dan kehilangan semangat dan antusiasme. Kadang kita mengganggap
rendah suatu profesi karena kurang bergengsi, kurang menghasilkan kekayaan,
dan tidak menjamin masa depan.

Tahukah anda profesi apa yang bakal menjamin masa depan anak anda? sebut
satu, mungkin ada yang bilang jadi dokter, tahukah anda berapa dokter yang
karirnya hancur karena mal praktek atau kecerobohan yang tidak disengaja,
mungkin ada yang bilang arsitek, pengacara, ahli komputer, insinyur dan
sebagainya, lalu mengapa yang sudah meraih gelar tersebut banyak juga yang
menganggur. Jelas pendidikan tinggi juga tidak dapat menjamin masa depan.
Lalu apa yang dapat menjamin masa depan anak-anak kita. Jelas
kemampuan-kemampuan yang kadang kita sepelekan, kemampuan untuk berempati,
menjaga integritas, mampu bekerjasama dengan orang lain, tidak egois dan
seperangkat kemampuan yang kita sebut sebagai life skill. Namun berapa orang
tua yang fokus pada kemampuan-kemampuan ini. Akan percuma kalau anak kita
ahli kedokteran, tapi selalu melanggar kode etik, ahli sipil, tapi selalu
memarkup yang tidak masuk akal proyek yang ada, ahli ekonomi, tapi tidak
peduli dengan si papa yang kelaparan. Lalu untuk apa semua pendidikan tinggi
ini, jika menjadikan putra-putri kita seorang yang egois, tidak peduli
lingkugan sekitar, bergaul sex bebas, kesepian, dan merasa dunia ini seperti
hutan belantara, dimana kasih sudah menghilang. Kita harus lebih perhatian
akan hal ini daripada angka akademis yang kebanyakan tidak bisa
menggambarkan masa depan anak.

Kalau yang pernah membaca buku millionaire mind, Stanley, justru hasil
statistik menyatakan bahwa indeks prestasi akademis yang tinggi berbanding
terbalik dengan kesuksesan materi. Orang yang berprestasi tinggi di sekolah
cenderung mengumpulkan kekayaan lebih sedikit dari pada orang yang
berprestasi biasa-biasa saja. Salah satu alasannya, orang yang berprestasi
biasa-biasa saja, dia telah membentuk prisai mental sedari dini. Seringkali
nilai akademis mereka tidak menguntungkan sehingga dicap bodoh oleh gurunya
di sekolah. Tapi mereka memiliki orang tua yang hangat, pengertian dan
memberikan semangat. Mereka selalu berkata " Nak, tidak usah dengerkan apa
kata mereka, kalau mereka memang sangat jago untuk meramal masa depan, tentu
mereka semua (para guru dan orang-orang yang mengganggap prestasi jelek dan
meramalkan masa depan suram) akan menjadi konglomerat dan tidak usah
menjalani karir seperti sekarang." jadi mereka sendiri tidak mampu
meningkatkan taraf hidupnya sendiri namun bermain tuhan dengan meramalkan
nasib orang lain. jadi buat apa semua prestasi itu kalau tidak membawa
kebahagiaan yang nyata bagi anak kita, dan manfaat positif terhadapa
lingkungan sekitar. Saya menyatakan ini bukan berarti tidak menghargai
prestasi. Namun yang saya ingin tegaskan bahwa, jangan mengorbankan
kesenangan, kegairahan dan keasyikan belajar hanya untuk mencapai keinginan
orang tua atau hanya mendapatkan nilai dari guru. Hidup kita terlalu pendek
untuk mengejar tujuan yang sempit. Jadi kita sebagai orang tua hendaklah
mulai merenung apakah yang kita lakukan membuat potensi anak kita dapat
berkembang pesat atau menghambatnya dengan memaksa keinginan kita kepada
anak.

Mungkin ada yang beralasan, mereka masih hijau, sehingga kita lebih tahu
daripada mereka. Apakah pada saat kita berkata seperti itu kita berkata
jujur? apakah tidak menyelip rasa ego dan harga diri kita akan naik manakala
anak kita meraih prestasi dan karir tertentu, ingat jangan mengorbankan masa
depan anak, hanya untuk memuaskan rasa ego kita, karena apapun yang kita
lakukan sekarang mungkin akan kelihatan setelah beberapa waktu berlalu, dan
pada saatnya, waktu tidak bisa ditarik ulang untuk memperbaiki apa yang
telah kita lakukan. Lakukan terbaik, bukan berarti menyerahkan sepenuhnya
kewajiban belajar pada sekolah selanjutnya berlepas tangan terhadap
perkembangan selanjutnya, melakukan terbaik dengan memberi materi, tapi
lupa, mereka juga memiliki kebutuhan emosional yang butuh pemenuhan. Banyak
orang tua yang berprinsip kualitas pertemuan lebih penting daripada
kuantitas pertemuan. Tapi seringkali ini hanya alasan kita untuk melepaskan
tanggung jawab dalam mendidik anak. Menganggap kehadiran anak dapat
menghambat karir atau kesempatan kita untuk maju atau menghasilkan uang dan
juga kekhawatiran kita karena sebenarnya kita sanggup memberikan materi,
tapi tumpul dalam pemenuhan emosi anak, atau sebenarnya kita hanya orang
dewasa yang kesepian yang telah terperangkap dalam permainan perlombaan
tikus.Berlari kesana kemari untuk mencari kebahagiaan, namun lupa, bahwa
kebahagian yang dicari bukan di luar sana, namun didalam rumah kita sendiri.
Para orang tua, kita sedang mengalami generasi yang hilang, generasi yang
ditemani oleh mainan-mainan mahal, namun kosong jiwanya. Generasi yang
dihipnotis oleh cerita sinetron yang seringkali tidak sesuai dengan
kenyataan, generasi yang mendapat ancaman dari kiri kanan dan sekitarnya.
Generasi yang bingung dan haus akan kasih sayang, sehingga rela mengorbankan
kesuciannya atas nama cinta. Generasi yang menghancurkan dirinya sendiri.
Kita perlu waspada. Dari dini kita harus memasukkan nilai-nilai dasar yang
bisa menjadi perisai mereka dalam mengarungi hidup selanjutnya. Nilai
seperti kejujuran, integritas, kerja keras, disiplin, pantang meyerah,
antusias, gairah dalam mencapai keinginan, berempati, berkomunikasi yang
efektif, kemampuan berfikir creatif, berfikir di luar kotak, keteguhan hati,
komitmen, dan sebagainya. Berapa dari kita yang peduli akan hal ini, apakah
kita lebih senang anak kita mendapat ranking dengan cara mencontek dan cara
tidak fair lainnya. Atau kita lebih senang memiliki putra/putri yang
berprestasi biasa saja namun menikmati hidupnya. Sekarang saatnya kita
benar-benar secara jujur memikirkan masa depan anak kita dengan tidak hanya
memberi materi semata, namun juga kebutuhan emosi dan psikologinya menjadi
santapan yang lezat yang selalu dihidangkan kepada mereka.

Ingat jika kita memberikan hati kita, maka kita dapat menyentuh ke lubuk
hati mereka yang paling dalam. Dan saya yakin, manakala mereka terpenuhi
secara materi, emosioanal , spiritual, maka lengkaplah tugas kita sebagai
orang tua. manakalah belajar merupakan kebutuah dan kesenangan dalam hidup,
adakah orang yang gagal diantara kumpulan orang-orang seperti itu. Kumpulan
orang-orang yang selalu menganggap tidak ada kegagalan, yang ada adalah maju
atau belajar, dan belajar itu sungguh menyenangkan. Apakah anak anda sudah
menganggap belajar itu kegiatan yang menyenangkan. Cobalah bertanya pada
anak-anak anda!!

selamat merancang masa depan anak anda

Admin Site

komunitas homeschooling Indonesia